Harga Yang Gue Bayar Untuk Menjadi Idealis


Tiap orang gue rasa punya standar idealisnya masing-masing.

Bagi gue, menjadi idealis berarti se-simple mendengarkan diri sendiri ketika mengambil keputusan besar, tanpa memperdulikan omongan orang lain.

Dan, kalo dipersentase bisa dibilang gue jarang lah menjadi manusia yang idealis. Alias terlalu mendengarkan apa pendapat orang lain, apa yang akan dipikirkan orang lain.

Padahal belum tentu orang lain peduli sama keputusan-keputusan dalam hidup gue.

*Oiya, sebenernya gue agak ragu mau share ini di blog. Cuma tiba-tiba kayak dapet ilham untuk share karena emang gak pernah dan bisa gue cerita ke orang lain.

Saat ini, gue lagi mencoba idealis untuk menggapai apa yang gue cita-citakan. Setelah sebelumnya gue mendengarkan untuk mengikuti apa yang orang kebanyakan lakukan.

Yang sebenernya, gue ngerasa itu bener-bener bukan gue banget. Gatau kenapa.

Yaitu bekerja.

Setelah lulus, gue bener-bener gak mau cari kerja. Kalo dibilang ya mau menikmati hidup dulu. Main, cari hiburan, don’t give a fuck sama omongan orang lain.

Hingga akhirnya gue kepikiran, kalo gak bisa gitu terus.

Cari kerja lah gue. Dan langsung dapet interview.

Setelah gak diterima, dan mendapatkan penolakan-penolakan lain. Gue bertanya, apakah emang gue gak cocok untuk kerja?

Skill yang gue punya gak cukup untuk berada di tempat-tempat yang gue tuju?

Lalu muncul lah penyesalan-penyesalan semasa kuliah, dimana gue kurang fokus untuk membangun skill dan pengalaman di bidang yang sesuai sama orang-orang di bidang ini punya.

Gue malah sibuk gak jelas di futsal lah, bikin usaha lah, dan hal-hal lain. Ketimbang ikut magang atau apa.

Well, sebenernya karena pandemi juga, sih. Di semester 8 gue udah niat untuk internship di bidang apapun yg bisa jadi batu loncatan setelah lulus.

Tapi, gue kayak mikir, “ah namanya pandemi, semua orang juga fucked up, kan?”.

Kita Cuma Perlu Sabar, dan Belajar.

Kembali ke pokok pembahasan artikel ini… Akhirnya gue sadar, seengaknya walaupun banyak perusahaan yang nolak gue, bukan saatnya untuk berhenti.

Gue mulai belajar lagi, gue improve diri lebih baik lagi, dan gue execute exit plan kalo emang bener-bener gue gak diterima kerja dimanapun.

Ya ngembangin usaha gue. Apa lagi?

Jadi lah gue belajar di bidang itu juga, eksperimen, bertaruh dengan mengeluarkan uang untuk kelas-kelas yang relevan.

Dan 1 hal yang perlu gue bayar adalah, “apa ya kata orang tua gue kalo ‘nganggur’ gini? Apa ya yg tetangga pikir kalo gue di rumah terus?”.

Gak bisa dipungkiri pasti pikiran-pikiran itu bakal muncul tiap saat, gue cuma bisa dengerin dan mencoba kuat aja.

Ya, mungkin itu salah satu harga yang perlu gue bayar. Menekan rasa malu untuk belajar lagi, belajar lagi, sampai gue bisa.

I hope so…


One response to “Harga Yang Gue Bayar Untuk Menjadi Idealis”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *