Beberapa bulan bekerja sebagai HRD, membuatku menyadari bahwa kita sebagai manusia sesungguhnya saling membutuhkan.
Kandidat butuh pekerjaan baru, HRD butuh kandidat untuk fulfill posisi yang sedang dicari (dan memenuhi targetnya pasti).
Sehingga, saya mendapatkan kesimpulan bahwa tidaklah etis untuk HRD, atau orang yang merasa posisinya di atas, untuk bertindak semena-mena ke entitas yang dia anggap “di bawahnya”.
Jangan sampai karena menjadi HRD, kita merasa angkuh, merasa masa depan seseorang atau kandidat ada di tangan kita.
Percayalah, jika kandidat itu belum berjodoh bersama kita, inshaa allah ada jalan lain untuk mereka menemukan stream rezeki mereka.
Tak hanya berhubungan dengan kandidat, saya juga mulai sering berhubungan dengan pihak ketika. Baik klien maupun perusahaan lain yang ingin menjajaki kerjasama.
Sama seperti kasus tadi, saya meyakini kembali, bahwa kita sama-sama saling membutuhkan.
Tidak dibetulkan perasaan, “ah mereka yang butuh kita, jangan fast respon, jangan sopan-sopan amat!”. (ini kisah nyata).
Bahkan ketika berpikir bahwa tindakan di atas tadi itu tergolong “savage nih!”, nggak juga!
Dari sana akhirnya saya belajar bahwa “savage”, dengan mannerless itu memang beda tipis. Terlebih di setting profesional.
Okelah, betul memang mereka yang butuh kita, mereka dapat bonus dengan berhasil ber-partner dengan kita.
Tapi jika kita pakai rumus dengan kandidat tadi, bagi saya memang tetap tidak bisa dibenarkan juga sih.
Kalau menurut Mbah Tedjo, ketika beliau diantar oleh taksi, beliau selalu menunggu di pagar sampai yang mengantarnya pergi.
Menurut beliau, yang kita bayar itu hanya waktu, tenaga, dan pikiran. Tapi rasa tidak bisa kita bayar!
Jadi, dengan merasa selalu “savage”, tidak sopan ke pihak lain, apakah membuat kita lebih tinggi dari yang kita “rendahkan” tadi?
Jelas saja tidak!
Konteks savage agar tidak melenceng: https://www.urbandictionary.com/define.php?term=savage